Tuesday, 25 September 2012

Ragam Strategi Serangan Teroris Generasi Keempat



Serangan teroris semakin bervariasi di Indonesia, dari menyerang tempat keramaian hingga rencana menyerang rombongan kepresidenan. Nasir Abbas, mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah, mengungkapkan, sejumlah strategi digunakan teroris. Karena itu, aparat dan masyarakat harus bisa mengantisipasinya.
Dalam diskusi Asian Professional Security Association (APSA) di Hotel JW Marriott, Jakarta, medio September, Nasir menjelaskan sejumlah strategi yang mungkin diambil teroris generasi keempat pascaserangan di Bali tahun 2002.
”Harus diantisipasi jangan sampai mereka melancarkan serangan seperti terjadi di Mumbay, India. Itu sudah dilakukan oleh kelompok yang merampok Bank CIMB di Medan. Ada 16 orang yang terlibat ketika itu,” ujar Nasir.
Nasir mengingatkan, gedung-gedung tinggi di Jakarta bisa dijadikan batu pijakan untuk menyerang bangunan yang menjadi sasaran. Para teroris kini juga menghimpun beragam senjata yang dengan mudah dimasukkan dari Filipina.
Senapan dengan peredam suara, Baby M-16, yang disebut Armalite hingga bahan peledak, dibawa dari Filipina ke Indonesia, yang terkadang menggunakan jalur transit di Sabah dan Sarawak, Malaysia Timur. Kota Pelabuhan Tawau, Samporna, hingga Lahad Datu merupakan persinggahan tradisional jaringan teroris tersebut.
Secara tradisional, Malaysia dan Singapura dijadikan tempat untuk menghimpun dana, Jawa dan Sumatera untuk merekrut teroris, Kalimantan-Sulawesi dan Filipina selatan serta Maluku tempat lalu-lalang serta berperang para teroris tersebut.
Pendiri APSA Indonesia Toto Trihamtoro membenarkan ucapan Nasir. Pistol Sig Sauer yang umum digunakan pasukan elite di Indonesia yang disita polisi dalam penggerebekan jaringan Depok diduga kuat dipasok dari Filipina.
”Senapan serbu dengan izin resmi bisa didapat dengan harga 700 dollar AS. Pistol tiruan FN buatan industri rumahan dijual dengan harga 50 dollar AS hingga 100 dollar AS per pucuk. Mudah membeli senjata di Filipina,” ujar Toto yang kerap berhubungan dengan sesama lembaga pengamanan di Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Penampilan berubah
Para teroris, menurut Nasir, juga meninggalkan cara-cara berpakaian yang sebelumnya bergaya agamis. ”Jangan heran kalau mereka nanti berbusana seperti anak gaul,” Nasir mengingatkan. Pengalaman itu pernah didapati beberapa kali di Mindanao. Sejumlah teroris berpakaian ala anak gaul di Manila yang berbeda kultur dengan masyarakat Muslim Mindanao sehingga tidak dicurigai aparat.
Komisaris Besar M Zarkasih dari Detasemen Khusus 88 Anti Teror mengakui, jaringan teroris generasi keempat saat ini semakin luas. ”Anak-cucu didikan Upik Lawanga, buronan teroris di Poso, sudah ratusan. Belum lagi kelompok Abu Omar yang terbagi dalam 11 grup teror yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Dari total 745 teroris yang ditangkap, sebanyak 488 orang sudah divonis. Saat ini sudah 210 orang bebas dan 22 orang kembali menjadi teroris,” ujar Zarkasih.
Dia berharap upaya deradikalisasi dilakukan serius. Seorang aparat Pemerintah Singapura bercerita, keluarga terpidana teroris di Singapura justru dirangkul pemerintah. Mereka didampingi ulama dan psikiater serta didorong hidup bermasyarakat, termasuk di luar komunitas seagama dan sesuku sehingga timbul saling pengertian.
Nasir Abbas ketika ditanya Presiden APSA Singapura, apa yang membuat dia berhenti menjadi teroris, adalah ketika dia diperlakukan manusiawi.
”Saya dilatih untuk membunuh aparat pemerintah. Ketika Pak Bekto (mantan Kepala Densus 88) berbicara empat mata, tanpa pengawalan dan senjata serta melepas tiga buah borgol yang membelenggu tangan, saya berpikir untuk menyerang atau akhirnya sadar. Saya juga dijelaskan, yang ditangkap polisi adalah teroris bukan memerangi aktivis Islam. Diberi kepercayaan dan diperlakukan manusiawi adalah kunci merebut hati,” ujar Nasir. (Iwan Santosa)

0 comments:

Post a Comment

1. Berkomentarlah yang baik
2. Jangan bermaksud untuk menghina
3. Kritik dan saran akan kami terima dengan baik
4. Komentar yang tidak baik akan kami spam